Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Adopsi Inovasi Pembelajaran IPA Terpadu untuk SMP Di Kalangan Guru
Oleh: Joko Sutrisno, S.Si., M.Pd.
I. PENDAHULUAN
Sejak Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan oleh  Pusat Kurikulum kepada sekolah pada sekitar tahun 2004, salah satu  inovasi yang disertakan di dalam KBK tersebut adalah model pembelajaran  IPA Terpadu dan IPS Terpadu untuk jenjang SMP. Model pembelajaran  terpadu ini antara lain mensyaratkan bahwa pelajaran IPA yang terdiri  dari bidang fisika, biologi, dan kimia diajarkan oleh 1 orang guru,  demikian juga dengan pelajaran IPS yang terdiri dari bidang ekonomi,  sejarah, dan geografi, juga diajarkan oleh 1 orang guru saja.
Dalam perkembangannya, model pembelajaran terpadu  tersebut menimbulkan pro-kontra di berbagai kalangan, terutama di  kalangan para guru yang selama ini terbiasa mengajar hanya 1 bidang  saja. Guru fisika misalnya, mereka menyatakan akan menemui kesulitan  untuk mengajarkan biologi; begitu juga guru biologi, mereka menyatakan  akan menemui kesulitan jika harus mengajarkan fisika. Namun demikian,  tidak sedikit juga guru fisika atau biologi yang menganggap model  pembelajaran terpadu tersebut merupakan tantangan dan harus dijawab  dengan cara meningkatkan pengetahuan para guru, baik melalui pendidikan  formal maupun melalui belajar mandiri.
Makalah ini berusaha mengkaji faktor-faktor yang mungkin berpengaruh  terhadap laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu untuk SMP di  kalangan para guru. Selain melalui kajian pustaka, penelitian lapangan  dalam skala kecil juga akan digunakan supaya diperoleh hasil yang lebih  baik.
II. PERUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dikaji dalam makalah ini dapat dirumuskan melalui pertanyaan berikut ini. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi laju adopsi inovasi model pembelajaran IPA Terpadu untuk SMP di kalangan para guru?
III. METODOLOGI
Metode yang akan digunakan untuk menjawab masalah yang telah  dirumuskan di atas terdiri dari dua macam, yaitu studi pustaka atau  studi literatur dan melalui penelitian langsung ke lapangan. Studi  pustaka dimaksudkan untuk mengumpulkan teori dan penemuan (hasil  penelitian) yang berkaitan dengan masalah ini. Sedangkan penelitian  langsung ke lapangan dalam skala kecil dilakukan untuk mendapatkan data  mengenai persepsi para guru bidang studi IPA tentang topik masalah yang  sedang dikaji. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner. Dengan  menggabungkan kedua sumber data ini, diharapkan masalah yang dibahas  dalam makalah ini akan terjawab.
IV. TINJAUAN TEORI DAN LITERATUR
Dalam Bagian Tinjauan Teori dan Literatur ini akan diuraikan  beberapa konsep atau teori yang akan digunakan untuk menjawab masalah di  atas. Beberapa teori atau konsep tersebut adalah sebagai berikut.
Inovasi
Inovasi didefinisikan sebagai sebuah gagasan, praktik, atau  benda yang diterima sebagai sesuatu yang baru (walaupun definisi baru  ini bersifat relatif) oleh seseorang atau sekelompok orang  (Rogers,1995).  Boleh jadi seseorang telah lama mengetahui adanya  gagasan, praktik, atau benda yang baru 5 tahun yang lalu, tetapi ia  tidak langsung menerima inovasi atau kebaruan tersebut 5 tahun yang  lalu. Ia baru menerapkan inovasi tersebut saat ini, sehingga dalam kasus  ini sesuatu yang merupakan inovasi 5 tahun yang lalu, tetap merupakan  inovasi baginya saat ini.
Laju Adopsi
Laju adopsi (rate of adoption) didefinisikan sebagai laju  relatif suatu inovasi diserap atau diadopsi oleh anggota dari suatu  kelompok sosial masyarakat. Menurut Rogers (1995), 49% – 87% variasi  dalam laju adopsi suatu inovasi dapat dijelaskan oleh karakteristik  inovasi itu sendiri, yang meliputi relative advantage, compatibility,  complexity, trialibility, dan observability. Selain karena karakteristik  dari inovasinya sendiri, laju adopsi suatu inovasi juga dipengaruhi  oleh beberapa variabel lain, yaitu jenis keputusan mengadopsi, saluran  komunikasi, karakter sistem sosial, dan seberapa besar usaha promosi  yang dilakukan oleh change agent.
Pembelajaran IPA Terpadu
Menurut Prawiradilaga (2004), pembelajaran terpadu merupakan  pendekatan dalam kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman yang  bermakna kepada anak. Pengalaman bermakna merupakan pengalaman langsung  yang menghubungkan pengalaman yang telah mereka miliki dengan pengalaman  yang akan dipelajari, dan memiliki nilai guna dalam kehidupan mereka  pada saat ini maupun mendatang.
Karakteristik pembelajaran terpadu meliputi:
1. Pembelajaran yang berawal dari adanya pusat minat (centre of  interest) yang digunakan untuk memahami gejala-gejala konsep lain, baik  yang berasal dari bidang ilmu yang sama maupun yang berbeda.
2. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan anak secara simultan
3. Menghubungkan berbagai bidang studi atau berbagai konsep dalam satu  bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling sesuai dengan  kebutuhan dan perkembangan anak
4. Menggabungkan sejumlah konsep kepada beberapa bidang studi yang  berbeda, dengan harapan anak dapat belajar lebih baik dan bermakna.
Uraian di atas dapat digunakan untuk mendefinisikan pembelajaran IPA  Terpadu di SMP, yaitu pembelajaran yang menghubungkan pelajaran fisika,  kimia, dan biologi, menjadi suatu bentuk pembelajaran yang tidak berdiri  sendiri-sendiri, melainkan menjadi suatu kesatuan yang diajarkan secara  simultan (karakteristik nomor 3).   Kesimpulan ini sejalan dengan  pernyataan yang disampaikan oleh ketua BSNP (Badan Standar Nasional  Pendidikan) Bambang Suhendro dalam Harian Suara Pembaharuan, Senin  9/1/06:
“...untuk mata pelajaran IPS terpadu di tingkat SMP, seringkali  kompetensi akademik guru kurang memadai. Guru yang mempunyai latar  belakang sejarah lebih banyak mengajarkan sejarah. Padahal kompetensi  IPS terpadu tidak hanya sejarah, tetapi ada sosiologi, antropologi dan  geografi. Begitu juga dengan mata pelajaran IPA terpadu yang mencakup  pelajaran fisika, kimia dan biologi”.
Pernyataan ketua BSNP tersebut menyiratkan bahwa seorang guru mata  pelajaran IPA di SMP dituntut untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam  pelajaran IPA, yaitu fisika, kimia, dan biologi, terlepas dari latar  belakang pendidikannya. Begitu juga untuk guru IPS, mereka diharapkan  untuk dapat mengajarkan semua subjek dalam pelajaran IPS, yaitu sejarah,  geografi, ekonomi, dan sosiologi.
Suatu pembelajaran terpadu menawarkan beberapa kelebihan (Lipson, 1993), yaitu:
- lebih fokus pada tema, karena satu tema dibahas dari berbagai sudut pandang
- memungkinkan transfer of learning, misalnya penerapan konsep fisika dalam biologi
- memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara satu disiplin ilmu dengan lainnya
Di samping kelebihan tersebut, terdapat beberapa masalah, kendala, atau  konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran terpadu (Druger, 1999), yaitu :
- guru dan sekolah sudah terbiasa dengan pola lama
- hampir semua guru tidak memiliki pengalaman penelitian di luar latar belakang pendidikannya
- guru “kehilangan” otoritas pada latar belakang bidang studinya
- memerlukan komitmen dari para guru untuk bekerja sama
- ketika menggunakan metode team teaching, muncul banyak persoalan  seperti perbedaan karakter pribagi guru, kontribusi yang tidak jelas,  perbedaan gaya mengajar, dan kesulitan mengatur jadwal
V. PEMBAHASAN
A. Diskusi Teoretis
Rogers (1995) menyebutkan 5 variabel yang mempengaruhi laju  adopsi suatu inovasi yaitu karakteristik inovasi (paling berpengaruh,  49% – 87%), jenis keputusan mengadopsi, saluran komunikasi,  karakteristik sistem sosial, dan usaha promosi yang dilakukan oleh  change agent.  Kelima variabel tersebut akan diterapkan pada laju adopsi  inovasi pembelajaran IPA Terpadu di SMP.
1) Karakteristik inovasi
Dari sisi kelebihan atau manfaat (relative advantage), inovasi  Pembelajaran IPA Terpadu yang diharapkan dalam KBK, sebagaimana  diuraikan dalam tinjauan teori, seharusnya menawarkan beberapa kelebihan  dibandingkan dengan model pembelajaran yang terpisah-pisah. Dengan  demikian, diharapkan bahwa laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu  ini akan tinggi.
Jika ditinjau dari compatibility-nya, kesiapan dan kompetensi guru IPA  tampaknya akan menjadi faktor yang menghambat laju adopsi inovasi ini.  Artinya, inovasi yang ditawarkan tidak compatible dengan kondisi guru  IPA yang ada, yang saat ini terkelompokkan sebagai guru Fisika dan guru  Biologi. Uus Toharudin (2005) menyatakan sedikitnya 50% guru di  Indonesia tidak memiliki kualitas sesuai standardisasi pendidikan  nasional. Pengajaran tematik (kata lain dari terpadu) bahkan masih asing  terdengar oleh para guru. Selain itu, guru belum memahami konstelasi  bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan dan hubungannya dengan  bidang studi lain. Dengan demikian, inovasi pembelajaran IPA Terpadu  yang kurang compatible dengan kondisi guru IPA yang ada akan mengurangi  laju adopsi inovasinya.
Dikaitkan dengan kompleksitasnya (complexity), inovasi pembelajaran IPA  Terpadu secara teori semestinya sederhana, yaitu pembelajaran fisika,  biologi, dan kimia yang dilaksanakan secara tematis seperti yang  dilakukan di TK dan SD. Jika sebelumnya pelajaran IPA diajarkan oleh 2  orang guru (guru fisika dan biologi, sedangkan materi pelajaran kimia  sebagian diajarkan oleh guru fisika dan sebagian lagi oleh guru  biologi), dalam pembelajaran terpadu mata pelajaran IPA hanya diajarkan  oleh satu orang guru, atau juga bisa melalui team teaching (dua orang  atau lebih guru mengajar secara serentak di kelas).
Namun demikian, jika dilihat lebih dalam lagi, susunan materi dalam  kurikulum IPA yang ada dalam KBK sendiri tidak terpadu sebagaimana model  pembelajaran yang diinginkan. Artinya, materi fisika, biologi, dan  kimia masih disusun secara terpisah. Di kelas VII misalnya, semester  pertama hanya memuat materi fisika dan kimia, sedangkan semester kedua  hanya memuat materi biologi. Di kelas VIII, semester pertama memuat  hanya materi biologi dan kimia, sedangkan semester kedua memuat hanya  fisika. Di kelas IX, semester pertama memuat biologi dan fisika,  sedangkan semester kedua hanya memuat fisika. Inilah yang akhirnya  membuat inovasi pembelajaran IPA Terpadu tidak sederhana, karena  kurikulumnya sendiri tidak mendukung, sehingga guru harus menyusun ulang  materi-materi dalam kurikulum sehingga terpadu.  Penyusunan ulang ini  tentu bukan hal yang mudah bagi guru, apalagi jika ternyata penyusunan  ini mengharuskan materi yang mestinya diajarkan di semester 1 harus  pindah ke semester 2 karena akan berdampak buruk ketika sekolah harus  mengikuti ulangan umum bersama.
Dengan demikian, dilihat dari kompleksitasnya inovasi pembelajaran IPA  Terpadu ini cukup kompleks, walaupun jika dilihat secara sekilas tampak  sederhana. Akibatnya bisa diperkirakan bahwa akan banyak guru yang  merasa kesulitan melaksanakan pembelajaran IPA Terpadu ini, terlebih  lagi ternyata tidak terdapat banyak petunjuk pelaksanaannya. Dikaitkan  dengan laju adopsinya, maka kemungkinan besar inovasi ini akan sulit  untuk diadopsi dengan cepat. Adopsi akan cepat terjadi jika pemahaman  guru sudah cukup lengkap terhadap inovasi ini.
Ditinjau dari sisi trialibility-nya, yaitu kemudahannya untuk dicoba,  sebenarnya pembelajaran IPA Terpadu dapat dicoba kapan saja dan di mana  saja, karena inovasi ini merupakan suatu model pembelajaran, yang dapat  langsung dicoba oleh para guru tanpa harus memikirkan biaya yang harus  dikeluarkan untuk mencobanya. Artinya, para guru  akan dengan cepat  “menerima sementara” ide inovasi ini untuk dicoba, walaupun belum tentu  akan “menerima” seterusnya.
Dari sisi observability, yaitu kemudahan guru untuk melihat hasil atau  manfaat dari pembelajaran IPA Terpadu ini, inovasi ini akan mengalami  kesulitan dalam adopsinya, karena hasil dari pembelajaran IPA Terpadu  tidak dapat langsung terlihat. Paling tidak, diperlukan waktu 1 tahun  untuk melihat hasil dari pembelajaran model ini, yaitu ketika siswa  menuntaskan masa 1 tahun pendidikannya.
Dari kelima elemen dalam karakteristik inovasi tersebut, elemen yang  akan mendukung (memperbesar) laju adopsi inovasi pembelajaran IPA  Terpadu adalah relative advantage dan trialibility. Sementara itu,  elemen yang kemungkinan akan menghambat laju adopsinya adalah  compatibility, complexity, dan observability.
2) Jenis keputusan yang diambil
Dalam inovasi pembelajaran IPA Terpadu ini, jenis keputusan  yang diambil sangat tergantung kepada guru, kepala sekolah, dan pejabat  pendidikan di wilayah setempat. Menurut Rogers (1995), semakin banyak  orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan suatu inovasi, maka laju  adopsinya semakin rendah. Dalam kasus ini, otoritas pendidikan nasional  tidak secara tegas mengharuskan sekolah melaksanakan pembelajaran IPA  secara terpadu, apalagi KBK memberikan kebebasan kepada guru untuk  mengembangkan sendiri model pembelajarannya. Dengan demikian, dapat  dipastikan bahwa laju adopsi model pembelajaran IPA Terpadu ini akan  rendah.
3) Saluran komunikasi
Saluran komunikasi yang digunakan dalam difusi inovasi  pembelajaran IPA Terpadu juga berpengaruh terhadap laju adopsi inovasi  ini. Beberapa saluran komunikasi yang digunakan dalam difusi inovasi  pembelajaran IPA Terpadu adalah melalui dokumen kurikulum, mass media,  interpersonal. Dua saluran komunikasi pertama tampaknya tidak berperan  banyak, karena biasanya hanya berupa informai global atau secara umum  saja. Jadi, saluran komunikasi yang berperan cukup besar adalah  komunikasi interpersonal, misalnya antara guru dengan pejabat atau  seseorang dari Pusat Kurikulum, penatar dari Depdiknas, dan para guru  inti. Akan tetapi, jumlah guru di Indonesia yang sedemikian banyaknya  dan wilayah Indonesia yang sedemikian luasnya, tidak bisa secara efektif  dijangkau melalui komunikasi interpersonal ini. Ditambah lagi, sebagai  akibat dari otonomi daerah, wewenang bidang pendidikan saat ini berada  di tingkat kabupaten dan kota, bukan lagi wewenang pemerintah pusat,  sehingga semakin sulit bagi Depdiknas dan Pusat Kurikulum untuk secara  efektif menyampaikan inovasi Pembelajaran IPA terpadu ini. Dengan  demikian, dapat dikatakan bahwa kontribusi saluran komunikasi terhadap  laju adopsi inovasi ini sangat kecil.
4) Karakter sistem sosial
Menurut Roger (1995), karakter sistem sosial seperti norma dan  struktur dalam masyarakat, juga mempengaruhi laju adopsi suatu inovasi.  Dalam kasus inovasi pembelajaran IPA Terpadu, norma-norma dan struktur  dalam dunia pendidikan di Indonesia juga mempengaruhi laju adopsi  inovasi ini. Namun demikian, yang mungkin berpengaruh lebih besar adalah  struktur dalam dunia pendidikan di Indonesia, terutama sebagai dampak  pelaksanaan otonomi daerah. Jika sebelumnya para guru merupakan pegawai  depdiknas (pegawai nasional), maka setelah otonomi daerah diberlakukan,  guru menjadi pegawai daerah. Padahal, kurikulum dikembangkan oleh  lembaga nasional dan diberlakukan secara nasional pula. Jadi, pada ada  lintasan yang “putus” dalam jalur komunikasi dari Depdiknas kepada para  guru di daerah. Sebagai akibatnya, laju adopsi oleh para guru terhadap  inovasi yang dihasilkan di pusat akan terhambat (kecil). Dan ini  sbenarnya tidak hanya terjadi pada kasus pembelajaran IPA Terpadu,  tetapi juga pada kasus-kasus lain, termasuk KBK sendiri, yang  sosialisasinya berjalan sangat lambat.
“Pemerintah harus memperhatikan media pembelajaran di daerah-daerah  pelososk untuk menjamin terjadinya perubahan-perubahan mendasar dengan  perubahan kurikulum. Juga sosialisasi yang harus dilakukan lebih baik.  Saat ini KBK tidak berjalan baik, karena pemahaman guru sendiri masih  rendah” (Suara Pembaruan, 14/2/2006).
5) Usaha promosi yang dilakukan oleh change agent
Siapakah sebenarnya change agent dalam difusi inovasi  pembelajaran IPA Terpadu ini? Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas dan  Pusat Kurikulum adalah pihak yang mengeluarkan inovasi, sedangkan para  guru secara umum adalah anggota kelompok masyarakat yang akan menerima  atau menolak inovasi ini. Yang bertindak sebagai change agent dalam  difusi ini tentu saja adalah para pegawai yang ada di Pusat Kurikulum  dan Depdiknas. Sayangnya, ruang gerak mereka untuk melakukan sosialisai  (promosi) inovasi ini terbatas karena para guru secara struktur tidak  lagi berada di bawah Depdiknas, melainkan di bawah Pemda. Akibatnya,  kegiatan promosi inovasi dari para change agent kepada para guru menjadi  terhambat, sehingga laju adopsi yang terjadi pun juga terhambat.
Dari analisis teori di atas dapat disimpulkan faktor pendukung dan  penghambat laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu di SMP di  kalangan para guru sebagai berikut.
Faktor Pendorong:
1. Relative advantage inovasi (kelebihan atau manfaat inovasi) yang tinggi
2. Triability inovasi yang tinggi
Faktor Penghambat:
1. Compatibility inovasi yang rendah
2. Kompleksitas inovasi yang tinggi
3. Observability yang rendah
4. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi
5. Saluran komunikasi dari pusat ke daerah yang tidak efektif
6. Struktur lapisan masyarakat pendidikan (guru) di Indonesia yang  “terputus” karena guru bukan lagi pegawai pusat, melainkan pegawai  daerah.
7. Kegiatan promosi yang kurang dari para change agent (staff Pusat  Kurikulum dan Depdiknas) karena sempitnya ruang gerak mereka sebagai  dampak otonomi daerah
B. Diskusi Hasil Kuesioner
Selain melakukan analisi teori, kami juga melakukan suatu  kuesioner sederhana untuk menguji kesimpulan teoretis yang telah  dihasilkan tersebut. Kuesioner dilakukan terhadap beberapa guru (sekitar  30 orang guru IPA) di Jakarta Timur.
Analisis teori menyatakan bahwa laju adopsi model pembelajaran IPA  Terpadu akan tinggi karena keuntungan dan manfaat yang melekat pada  inovasinya itu sendiri. Hasil kuesioner menyatakan bahwa dari guru atau  sekolah yang melaksanakan model pembelajaran ini, hanya 11% yang  menganggap model pembelajaran IPA Terpadu ini sebagai inovasi. Sebanyak  44% melaksanakan model ini karena merupakan keputusan sekolah dan 45%  karena diwajibkan oleh pemerintah. Artinya, bagi para guru, model  pembelajaran IPA Terpadu tidak dianggap sebagai sesuatu yang  menguntungkan atau memiliki nilai tambah. Jika mereka melaksanakannya,  hal itu lebih dikarenakan sebagai bentuk melaksanakan kewajiban.  Keputusan sekolah untuk melaksanakan model ini juga tentu saja didorong  oleh adanya kewajiban bagi sekolah untuk melaksanakannya. Dengan  demikian, relative advantage dipastikan bukan faktor yang mendorong laju  adopsi inovasi model ini, tetapi juga belum tentu faktor penghambat.
Berdasarkan teori, faktor kemudahan untuk dicoba (trialibility)  mendukung tingginya laju adopsi inovasi. Hasil kuesioner menunjukkan  bahwa terdapat 60% sekolah yang menerapkan model pembelajaran IPA  Terpadu ini, sedang sisanya 40% belum atau tidak melaksanakannya,  walaupun ketika ditanyakan pendapat para guru tentang penerapan model  pembelajaran ini, lebih banyak guru yang menyatakan tidak setuju (57%)  dibandingkan yang menyatakan setuju (43%). Dimungkinkan faktor kemudahan  untuk dicoba inilah yang membuat banyak sekolah telah melaksanakan  model pembelajaran ini.
Dari sisi compatibility-nya, hasil kuesioner menunjukkan bahwa dari  guru-guru yang menyatakan tidak setuju dengan pemberlakuan model ini,  83% beralasan guru IPA yang ada di sekolah (terpisah menjadi guru  fisika, biologi, dan kimia) tidak sesuai dengan model ini. Sementara  itu, guru yang menyatakan setuju lebih beralasan karena adanya perintah  dari pemerintah.
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa bagi para guru, inovasi model  pembelajaran IPA terpadu ini tidak memiliki kompleksitas yang tinggi,  artinya masih dianggap ide yang wajar. Hanya 17% guru yang menyatakan  bahwa model pembelajaran ini sulit dilaksanakan di sekolah. Ini sejalan  dengan hasil hanya 11% guru yang menganggap model pembelajaran ini  sebagai inovasi.
Faktor observability tidak terdeteksi secara jelas dalam kuesioner ini,  karena sebagian besar guru baru mengenal model ini kurang dari 1 tahun,  sehingga masih belum bisa melihat hasil dari model pembelajaran ini.  Namun kalau dilihat dari besarnya alasan melaksanakan model ini karena  adanya keharusan yang ditetapkan pemerintah, maka tampaknya faktor  observability bukan sebagai faktor yang menentukan laju adopsi inovasi,  paling tidak untuk saat-saat ini.
Jika dikaji dari jenis pengambilan keputusan, berdasarkan hasil  kuesioner tersirat bahwa bukan guru yang memutuskan apakah akan  menerapkan model pembelajaran terpadu atau tidak, melainkan sekolah atau  kepala sekolah. Dari jawaban atas pertanyaan alasan penerapan model  ini, 44% adalah keputusan sekolah dan 34% karena dianjurkan pemerintah  (sama artinya dengan sekolah yang memutuskan). Dengan demikian,  sebenarnya laju adopsi inovasi ini akan mudah, karena tidak terlalu  banyak yang memutuskan adopsinya, yaitu hanya sekolah atau kepala  sekolah. Guru hanya sekedar sebagai pelaksana.
Jika hasil analisis teori terhadap saluran komunikasi menghasilkan  saluran komunikasi dari daerah ke pusat yang tidak efektif, ternyata  hasil kuesioner menunjukkan lain. Sebanyak 86% guru mengaku sudah  mengenal model pembelajaran IPA Terpadu ini, dan terbanyak mengenal  melalui Kepala Sekolah (50%) dan melalui personel dari Pusat Kurikulum  (33%). Artinya, tidak ada masalah dengan saluran komunikasi untuk adopsi  inovasi ini.
Erat kaitannya dengan saluran komunikasi, struktur lapisan masyarakat  pendidikan (guru) di Indonesia yang dalam analisis teori diduga  “terputus” ternyata bukan merupakan hambatan bagi laju adopsi inovasi  ini, karena seperti telah disebutkan sebelumnya, sebanyak 50% guru  mengenal model pembelajaran IPA Terpadu melalui Kepala Sekolah dan 33%  melalui Pusat Kurikulum.
Kalau benar Pusat Kurikulum dan para staffnya merupakan change agent  untuk inovasi model pembelajaran IPA Terpadu ini, maka sebenarnya  kegiatan promosi yang telah mereka lakukan cukup berhasil, yaitu 33%  guru mengenal model ini melalui mereka, sedangkan sebagian besar yang  lain melalui kepala sekolah (50%). Tetapi, bukankah kepala sekolah juga  mengenalnya dari Pusat Kurikulum?
Khusus untuk faktor saluran komunikasi, struktur masyarakat pendidikan  (guru), dan kegiatan promosi yang dilakukan change agent, pemilihan  daerah dilakukannya kuesioner mungkin saja berpengaruh. Kuesioner  dilakukan di Jakarta Timur, yang masih merupakan bagian dari Ibukota  negara, sehingga cukup dekat dengan sumber inovasinya. Hasil berbeda  mungkin saja akan didapatkan jika kuesioner juga dilakukan di  daerah-daerah lain yang jauh dari Jakarta.
C. Penggabungan Hasil Analisis Teori dengan Hasil Kuesioner
Dari kedua analisis tersebut, yaitu analisis teori dan analisis  kuesioner, hasil yang diperoleh dapat digabungkan dengan melihat posisi  faktor-faktor yang dianalisis, apakah sebagai pendorong, penghambat,  atau netral.
Tabel: Penggabungan Hasil Analisis Teori dan Kuesioner
| Faktor | Pendorong | Penghambat | Kecenderungan sebagai | ||
| Teori | Kuesioner | Teori | Kuesioner | ||
| Relative advantage | Ya | Tidak | Tidak | Ya/Tidak | Pendorong | 
| Compatibility | Tidak | Tidak | Ya | Ya/Tidak | Penghambat | 
| Kompleksitas | Tidak | Ya/Tidak | Ya | Tidak | Penghambat | 
| Trialibility | Ya | Ya | Tidak | Tidak | Pendorong | 
| Observability | Tidak | Ya/Tidak | Ya | Ya/Tidak | Netral | 
| Jenis keputusan | Tidak | Ya | Ya | Tidak | Netral | 
| Saluran komunikasi | Tidak | Ya | Ya | Tidak | Netral | 
| Struktur sistem sosial | Tidak | Ya | Ya | Tidak | Netral | 
| Promosi change agent | Tidak | Ya | Ya | Tidak | Netral | 
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memiliki kecenderungan cukup kuat berperan sebagai pendorong atau penghambat sebagai berikut.
Faktor Pendorong : relative advantage, trialibility
Faktor Penghambat : compatibility, kompleksitas
Faktor Netral : observability, jenis keputusan, saluran komunikasi, struktur sistem sosial, dan promosi change agent.
Faktor-faktor yang netral tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut agar benar-benar bisa diketahui peranannya yang lebih dominan. Namun demikian, untuk sementara ini sebenarnya dapat dianggap bahwa untuk faktor-faktor yang netral tersebut, menurut analisis teori merupakan faktor penghambat. Dengan cara demikian, hasil analisis teori dan kuesioner tidak bertentangan, melainkan persamaannya belum terungkap secara nyata.
VI. KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, dapat disampaikan faktor-faktor penghambat dan pendorong laju adopsi inovasi pembelajaran IPA Terpadu di SMP di kalangan para guru sebagai berikut.
Faktor Pendorong:
1. Relative advantage inovasi (kelebihan atau manfaat inovasi) yang tinggi
2. Triability inovasi yang tinggi
Faktor Penghambat:
1. Compatibility inovasi yang rendah
2. Kompleksitas inovasi yang tinggi
3. Observability yang rendah
4. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi
5. Saluran komunikasi dari pusat ke daerah yang tidak efektif
6. Struktur lapisan masyarakat pendidikan (guru) di Indonesia yang “terputus” karena guru bukan lagi pegawai pusat, melainkan pegawai daerah.
7. Kegiatan promosi yang kurang dari para change agent (staff Pusat Kurikulum dan Depdiknas) karena sempitnya ruang gerak mereka sebagai dampak otonomi daerah.
REFERENSI
-Druger, Marvin., A Perspective on Teaching Integrated Science, Technos: Quarterly for Education and Tecnology, 1999.
-Forgaty, Robin., The Mindful School: How to Integrate the Curricula, Skylight Publishing Inc., Illinois, 1991
-Lipson, M., Valencia, S., Wixson, K., Peters, C., Integration and Thematic Teaching: Integration to Improve teaching and Learning, Language Arts 70 (4), 252-263. (EJ 461 016).
-Rogers, Everett, M., Diffusion of Innovation, 4th Ed, The Free Press, New York, 1995
-Toharudin, Uus., Kompetensi Guru dalam Strategi Ajar, Pikiran Rakyat Cyber media, 2005.
-Wardani, Cut, Kamaril, Dalam Mozaik Teknologi Pendidikan: Pendidikan Melalui Seni dalam Pendekatan pembelajaran Terpadu, Prenada Media, Jakarta, 2004


 







0 comments:
Post a Comment